Beranda Editorial Konsensus Politik Pilkada Damai

Konsensus Politik Pilkada Damai

0
BERBAGI
Dwi Setiawan Chaniago (kiri) Sosiolog Universitas Mataram
Opini koranmerah (22/2/2018)
Oleh : Dwi Setiawan Chaniago
Sosiolog Universitas Mataram
Babak baru momen kontestasi politik di Nusa Tenggara Barat (NTB) telah dimulai. Ditetapkannya empat calon kontestan Pilkada NTB 2018 menjadi penanda bermulanya ajang presentasi diri para calon untuk mendapatkan simpatik masyarakat. Dalam momen Pilkada serentak kali ini sangat menarik, khususnya dilihat dari persiapan para pihak untuk bisa menjalankan dan mengawal Pilkada agar berjalan secara kondusif. Mulai dari Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) yang menginisiasi silaturahim bakal calon pada 9 september 2018 silam, hingga terbaru Deklarasi Udayana oleh calon gubernur dan wakil gubernur (Cagub-Cawagub) bersama stakeholder serta masyarakat dalam membangun kesepakatan (konsensus) untuk meminimalisir potensi patologi demokrasi khususnya politik uang dan penggunaan isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) selama kampanye.
Prakarsa Polda Membangun Konsensus Politik
Memasuki masa kampanye yang dimulai dari 15 februari hingga 23 juni 2018, tensi kontestasi semakin meningkat. Periodisasi masa kampanye yang relatif panjang di satu sisi menjadi ajang dan peluang bagi Cagub dan Cawagub untuk dapat mensosialisasikan gagasan dan program yang menjadi visi dan misi dalam membangun NTB kepada masyarakat. Di sisi lain, panjangnya masa kampanye juga menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara dan pengawas pemilu serta elemen seperti Kepolisian.
Langkah strategis Kapolda NTB dalam mengakomodir pertemuan dengan calon kontestan pilkada dalam ajang silaturahim bersama tokoh agama, tokoh masyarakat dan segenap unsur masyarakat menjadi dasar bagi terbentuknya kesepakatan (konsensus) politik. Silaturahim yang mempertemukan para calon kontestan di kediaman Kapolda paling tidak mengandung tiga makna sosiologis, pertama, kepolisian siap untuk mengawal pilkada agar kondusifitas selama masa kampanye tidak mengganggu harmonisasi sosial, pesan itu tegas disampaikan pada para para calon kontestan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan stakeholders. kedua, Kehadiran seluruh elemen masyarakat termasuk para calon kontestan menjadi penanda bagi masyarakat bahwa kontestasi pilkada hanyalah kompetisi untuk melahirkan pemimpin terbaik dari yang terbaik, dan kompetisi tersebut hanya terjadi dalam arena politik yang memiliki batasan (limitasi), di luar hal tersebut seluruh kontestan dan tokoh agama dan masyarakat secara kolektif membangun konsensus bahwa di luar arena pilkada, tujuan kita masih satu, yakni membawa provinsi NTB ke arah pembangunan yang lebih baik. Ketiga, himbauan agar calon kontestan dapat bermain cantik dalam merebut hati rakyat, khususnya agar tidak menggunakan strategi politik uang, maupun ekploitasi isu SARA yang dapat berpotensi memecah belah masyarakat.
Konsensus politik menjadi sangat urgens melihat potensi gesekan selama masa pilkada berlangsung tidak dapat dikesampingkan. Konsensus politik yang paling mendasar secara sosiologis adalah komitmen untuk menghondari politik uang dan penggunaan isu SARA. Kedua hal tersebut berpotensi untuk dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Politik uang misalnya, akan memicu munculnya distrust (prasangka dan ketidakpercayaan) akan hasil pilkada yang pada akhirnya akan menjadi lembar baru konflik di dalam masyarakat. Sedangkan penggunaan isu SARA juga akan berdampak serius pada kualitas kehidupan sosial masyarakat yang akan terdegradasi, tidak hanya selama masa pilkada namun hingga pasca pilkada yang akan melahirkan pragmentasi sosial dimana masyarakat akan terkotak-kotakkan berdasarkan kondisi suku, agama, ras dan antar golongan.
Komitmen para cagub dan cawagub dalam membangun konsensus menjadi harapan bagi terlaksananya pilkada yang kondusif. Melalui moment itu pula diharapkan dapat tersaji kontestasi pilkada yang berkualitas sebagai ajang adu program dan visi misi. Sudah sepatutnya pula masa kampanye sebagai momentum mencerdaskan dan melatih sikap kritis masyarakat untuk bisa selektif memilih pemimpin. Tentu, pemimpin adalah representasi masyarakatnya, jika pemimpin yang muncul dari momen pilkada berkualitas, maka hal tersebut adalah cerminan dari pemilih yang berkualitas pula.
Kesimpulan
Pilkada adalah momentum krusial bagi lahirnya pemimpin berkualitas yang diharapkan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk itu, fokus kita pada dasarnya tidak semata pada euporia demokrasi selama pilkada saja, namun lebih jauh dari itu kita harus mampu membangun konsensus bagi soliditas masyarakat NTB ke depannya. Kita tentu tidak ingin pilkada melahirkan benih-benih gesekan yang dapat memicu disharmonisasi sosial. Sebab bukan itu substansi pilkada. Sebaliknya, pilkada adalah tolak ukur untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas dengan menjadikan diri selaku pemilih yang berkualitas pula. Dalam konteks konsensus politik saat ini, penting kita dapat sepaham bahwa politik uang dan penggunaan isu SARA merupakan salah satu momok dalam menciptakan kondusifitas pra dan pasca pilkada.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here