Sumartini (SM) asal Sumbawa merupakan Perempuan Buruh Migran (PBM) yang pernah mendapatkan ancaman hukuman mati dari pemerintah Arab Saudi pada 2011. Dia dikriminalisasi dengan tuduhan sihir yang menyebabkan anak majikan jatuh sakit.
Faktanya, SM dipaksa mengaku dengan pisau di lehernya dan pistol yang mengarah ke kepalanya hingga dijebloskan ke penjara oleh majikan.
Penderitaan SM berlanjut hingga proses pemeriksaan di kepolisian, SM mengalami penyiksaan dan dipaksa untuk mengaku. SM disetrika, tubuhnya ditanam di gurun pasir hingga batas leher lalu ditempatkan dalam ruangan sempit dengan kaki dirantai.
Atas desakan Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa dan Keluarga SM melalui Kementerian Luar Negeri dan Satgas Hukuman Mati TKI, pada 20 Desember 2011, akhirnya SM terlepas dari hukuman mati. Namun tetap harus menghadapi hukuman berupa 10 tahun penjara dengan hukum cambuk sebanyak 1000 kali. Hingga hari ini SP masih terus mendesak pemerintah untuk berupaya agar SM mendapat pengurangan masa hukuman dan segera dipulangkan mengingat tuduhan yang dikenakan tidak terbukti selama proses persidangan.
“Harapan saya agar SM dapat dibebaskan dan dipulangkan secepatnya karena masa tahanannya sudah selesai,” ujar Icung, kakak kandung SM.
Lain lagi yang dialami oleh oleh FI. FI menjadi korban trafficking pasca Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.
FI asal Luk diberangkatkan dengan modus liburan dengan negara tujuan Damam, Riyadh yang diberangkatkan oleh sponsor yang bernama DY dan IW. Namun, FI ditempatkan di Riyadh dan bekerja di sektor non formal sebagai pekerja rumah tangga.
Selama bekerja di Riyadh FI berganti majikan hingga dua kali selama kurun waktu 8 bulan. Selama bekerja FI mendapat ketidakadilan. Pada majikan kedua FI tidak diberi makanan yang layak, kurang istirahat dan tidak ada kontrak perjanjian kerja. Masalah yang dialami FI saat masih dalam proses, FI bisa dipulangkan jika FI membayar ganti rugi sejumlah 15.000 real, jika dirupiahkan menjadi RP 59.000.000
FI merupakan bukti nyata bahawa negara memberlakukan kebijakan yang semakin memiskinkan perempuan melalui Kepmen No. 260/2015. Kebijakan pelarangan bekerja ke Negara-negara timur tengah ini berlaku untuk pekerja domestik.
Khardiana, akfitis Solidaritas Perempuan—Sumbawa, menilai bahwa mayoritas dilakoni oleh perempuan. Kebijakan ini tidak hanya mendiskriminasi perempuan buruh migrant pekerja domestic tetapi juga turut mendorong pada meningkatnya kasus-kasus perdagangan PBM melalui pemberangkatan secara unprosedural.
“Terbukti selama hampir 4 tahun kebijakan tersebut berlaku, yaitu 2015-2018, terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada angka kasus trafficking perempuan buruh migran yang ditangani SP Sumbawa meningkat hingga 42 % dari 2017 hingga saat ini,” ungkapnya.
Menurut Diana, bahwa perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak yang seharusnya memberikan perlindungan dialami juga oleh EM asal Desa labuhan Ijuk. EM diiming-imingi oleh calo/sponsor, bahkan pada saat proses pemberangkatan dan dipenampungan EM meminta untuk MD (jelaskan arti MD) karena tidak tahan tinggal dipenampungan.
Pada saat tinggal di penampungan EM diberikan makanan yang kurang layak, air minum dibeli dan bahkan EM tidak pernah makan di penampungan, pada saat MD EM diminta uang ganti rugi sejumlah RP 15.000.000 oleh sponsor, namun pihak PT meminta uang sejumlah RP 8.500.000 dan telah diberikan, tiket kepulanganpun ditanggung sendiri diluar uang yang diberikan tersebut.
“Pada saat kepulang EM hanya diberikan KTP namun dokumen lainnya seperti KK, Ijazah, Pasport dan lain-lain belum diberikan oleh pihak PT. Permasalahan penahanan dokumen dan pemalsuan dokumen sangat kerap dialami oleh perempuan buruh migrant, hal ini terjadi karena Negara menyerahkan tanggungjawab sepenuhnya ke pihak swasta/PPTKIS/PPPMI (perusahaan penempatan pekerja migrant Indonesia) tanpa ada pengawasan yang intens dari Negara,” kata Diana.
Pihaknya mencatatnya, ketiga kasus di atas hanyalah segelintir cerita dari penderitaan yang dialami PBM dan keluarganya. Nyatanya, hingga saat ini PBM terus mengalami kekerasan dan pelanggaran hak yang berlapis. Banyaknya kasus yang muncul membuktikan bahwa pemerintah masih abai dan belum serius menempatkan perlindungan Perempuan Buruh Migran sebagai prioritas utama yang harus dilakukan.
“Indonesia seringkali tidak mampu membela warga negaranya yang dikriminalisasi atau menghadapi ancaman hukuman mati. Sebaliknya ketika warga Negara Indonesia yang mengalami kekerasan bahkan hingga kematian, pemerintah tidak berdaya untuk menuntut keadilan,” kesalnya.
Karenanya, SP Sumbawa PBM dan keluarganya terus mendesak pemerintah untuk segera melakukan langkah-langkah konkret penyelesaian kasus sebagai salah satu wujud perlindungan menyeluruh bagi perempuan buruh migran. Pemerintah harus menjamin dan memfasilitasi kebutuhan korban dan keluarga korban untuk terpenuhinya hak-hak yang terlanggar serta keadilan bagi perempuan buruh migran dan keluarganya.
Perlindungan PBM dan keluarganya juga harus diwujudkan melalui kebijakan dan peraturan hukum yang berorientasi pada perlindungan PBM dan keluarganya selama proses migrasi sejak pra-pemberangkatan, di tempat kerja, hingga kepulangan. Peraturan hukum harus mengadopsi penuh standar perlindungan hak asasi perempuan buruh migran dan keluarganya yang dimandatkan dalam instrument HAM Internasional termasuk Konvensi Migran 90, CEDAW dan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT.
“Kelemahan terbesar Negara dalam perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya adalah buruknya sistem hukum dan kebijakan terkait buruh migran di Indonesia. Karenanya, Negara harus mewujudkan tanggung jawabnya dengan mewujudkan Kebijakan perlindungan yang komprehensif bagi perempuan buruh migran dan keluarganya,” pungkasnya. (BS)