Konsep smart-city yang menginterkoneksikan sistem pelayanan masyarakat terpadu dalam satu aplikasi digital, semakin banyak diadopsi sejumlah kota berkembang di dunia, termasuk di Indonesia.
Faktanya, pola ini berhasil memangkas bukan saja jalur birokrasi, dan juga biaya yang harus dikeluarkan publik untuk keperluan administrasi mereka.
Dalam skala lebih kecil, di tingkat Pedesaan, digitalisasi seperti smart-city ini bisa juga dilakukan untuk memperkuat sektor pertanian.
Hal ini menjadi gagasan Ketua Badan Pengawas dan Disiplin (BPD) Partai Gerindra, H Bambang Kristiono (HBK) untuk mendorong konsep Digital Village berbasis IT di Desa, Rabu ( 23/1)
“Digital Village bisa mengintegrasikan pembangunan pertanian di tingkat Desa, mulai dari bagaimana mutu dan kualitas tanam, pengolahan produk, hingga ke jaringan pemasaran,” kata HBK.
Menurutnya, digitalisasi tak bisa ditawar lagi untuk ikut beradaptasi dengan perkembangan jaman. Sebab, saat ini pesatnya perkembangan teknologi informasi, menjadi tantangan sekaligus peluang di era pasar bebas ASIA.
Contoh kecil saja, produk jamur organik dari China ataupun bibit unggul beras merah Made ini Malaysia , saat ini bisa dengan mudah dibeli hanya dengan aplikasi platform digital, melalui handphone.
“Semua serba digital dan online saat ini. Jadi petani kita juga harus bisa, suatu ketika produk olahan Kopi atau Jagung di desa mereka, dibeli orang Amerika hanya lewat handphone,” tukas HBK optimistis.
HBK menjelaskan, digital village bisa menggunakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) sebagai port utama di desa. Hal ini juga sekaligus mendorong revitalisasi Bumdes kita.
Bumdes itu akan mengakomodir para kelompok petani di desa, baik petani tanaman pangan, hortikultura, peternakan, maupun perinakan budidaya.
Selain kelompok premier itu, Bumdes juga terintegrasi dengan home industri yang ada di desa. Produk olahan pangan hasil pertanian, bahkan bisa juga mendukung sektor kerajinan, seperti Tenun dan Gerabah di Lombok.
Memaksimalkan Potensi Millenials
Di Nusa Tenggara Barat (NTB) peluang pengembangan pertanian berbasis digital, bukan isapan jempol.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB menyebutkan, selain kebutuhan pangan utama dan kesehatan, biaya pulsa menjadi salah satu kebutuhan masyarakat di pedesaan yang selalu mempengaruhi Nilai Inflasi Perdesaan.
Artinya, pemanfaatan teknologi informasi sudah diakses hingga di desa-desa. Paling tidak, warga di Desa menggunakannya untuk jejaring media sosial.
“Tanpa survey yang njelimet pun kita tahu, saat ini masyarakat di Desa pasti main medsos, pakai handphone dan butuh pulsa. Tapi ini kan konsumerisme, harus diubah menjadi pemanfaatan yang produktif, salah satunya lewat Digital Village,” katanya.
HBK menjelaskan, dengan mendorong Digital Village itu, maka Bumdes bisa menjadi fasilitator bagi kaum muda desa yang kreatif dan berkeinginan membangun bisnis pertanian berbasis digital.
Pertumbuhan startup atau wirausaha baru berbasis digital di Desa tersebut akan menjadi jaringan yang kuat.
“Bumdes mulai fokus pada core usaha yang lebih memiliki benefit dengan memanfaatkan kemajuan tekhnologi. Startup kemudian mempermudah pemasaran, termasuk memangkas cost produksi yang pada akhirnya produk olahan pertanian lebih berdaya saing,” katanya.
Selain itu, konsep digital Village juga bisa mengintegrasikan antar desa melalui masing-masing Bumdes.
Potensi di desa lain bisa diakses dan saling mengisi, menguntungkan.
HBK yang juga Caleg DPR RI dari Partai Gerindra Nomor Urut 1 Dapil NTB II/Pulau Lombok ini mengatakan, konsep Digital Village saat ini tengah dilakukan pilot projectnya di sejumlah desa di Jawa Timur sejak 2018 lalu, dengan hasil yang cukup memuaskan.
“Ini bukan hal mustahil juga dilakukan di Lombok, NTB. Kita juga sedang melakukan inisiasinya melalui kader-kader muda Gerindra,” kata HBK.