Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran [FITRA NTB] memberikan catatan merah atas kebijakan anggaran 2020 yang disampaikan Pemerintah Provinsi NTB.
Fitra membeberkan Proyeksi APBD NTB jauh di bawah potensi riil (mark down). APBD NTB tahun 2020 diproyeksi hanya tumbuh di bawah 5 persen.
Padahal, rata-rata tingkat pertumbuhan pendapatan daerah dalam sepuluh tahun terakhir pada kisaran 13 persen. Rendahnya target pendapatan daerah tidak terlepas dari proyeksi pesimis terhadap penerimaan PAD dan dana transfer pusat.
Fitra menganilisis, PAD tahun 2020 diproyeksikan meningkat 8 persen, jauh di bawah potensi riil. Rata-rata pertumbuhan PAD NTB dalam sepuluh tahun terakhir mencapai 13 persen.
” PAD diproyeksikan akan bertumpu pada pajak daerah, yang ditargetkan akan meningkat 10 persen. Peningkatan moderat pada penerimaan pajak daerah semestinya mengindikasikan proyeksi ekonomi daerah tahun depan cukup stabil. Namun optimism tersebut tidak diiringi dengan proyeksi penerimaan retribusi daerah, yang justru turun sangat signifikan [-25 persen],” Jelas Direktur FITRA NTB, Ramli Ernanda.
Penerimaan dari laba investasi permanen pemda pada beberapa BUMD juga diproyeksikan turun (-1 persen) dibandingkan target pada perubahan APBD 2019.
Menurut Fitra, Proyeksi ini tidak sejalan dengan kebijakan penyertaan modal dan restrukturiasi pengeloaan BUMD yang sejak awal dilakukan pemerintah daerah, seperti merger BPR dan pergantian Dirut PT GNE.
” Kebijakan tersebut nyatanya tidak berdampak, sehingga menguatkan kesan bagi-bagi jatah “kue” untuk kelompok tertentu,” tandas Ramli.
Fitra mengulas, Kebijakan belanja pemerintah daerah pada tahun 2020 pun belum menunjukkan progress yang dapat mendorong optimisme masyarakat NTB.
Belanja program yang diharapkan menjadi pengungkit dan memulihkan ekonomi daerah paska bencana gempa justru diproyeksi mengalami penurunan 1 persen dibandingkan alokasi pada perubahan APBD 2019.
” Dengan kondisi ini, sulit mengharapkan belanja pemerintah dapat berfungsi optimal sebagai instrument peningkatan kesempakatan kerja, peningkatan daya beli masyarakat dan pemulihan ekonomi daerah pada tahun depan. Fakta ini menunjukkan pemprov tidak serius bekerja, sebaliknya memperlihatkan penururan kinerja. Kami semakin pesimis visi NTB Gemilang akan tercapai,” terangnya.
Untuk itu Fitra meminta TAPD menyusun kebijakan anggaran yang dapat menumbuhkan optimism public, dengan meningkatkan proyeksi penerimaan daerah sesuai dengan potensi riil. Sehingga dapat dialokasikan untuk pembiayaan program-program prioritas daerah, seperti peningkatan akses pendidikan untuk penduduk usia SMA/SMK.
” DPRD NTB tidak menjadi lembaga “stempel” ekskutif. Di tengah terbatasnya waktu pembahasan RAPBD 2020, fungsi budgeting legeslatif tidak akan berjalan maksimal, sehingga akan terkesan sebagai lembaga “stempel”,” katanya.
Selain itu, Fitra mendesak agar waktu pembahasan RAPBD agar diperpanjang untuk menghasilkan kualitas pembahasan anggaran yang baik, serta menyediakan akses dan ruang partisipasi masyarakat untuk membahas RAPBD 2020.