Konflik nama bandara di Lombok Tengah menyita perhatian semua kalangan. Tidak hanya rakyat jelata, tapi para tokoh di NTB juga angkat bicara menyikapi pergolakan perubahan nama bandara dari Lombok Internasional Airport menjadi Zaenudin Abdul Majid.
Ketua Majlis Ulama Indonesia [MUI] NTB, Prof.Saeful Muslim misalnya dalam keterangan persnya hari ini, rabu [20/11] menegaskan bahwa kondisi saat ini tidak pas untuk mengganti nama bandara. Luka lama soal pembayaran lahan saja belum tuntas, ditambahkan lagi ada penambahan identitas bandara yang belum disetujui seratus persen oleh pihak pihak berkepentingan, terutama eks pemilik lahan.
” Menurut saya, momennya saja yang kurang tepat. jadi tolonglah dipertimbangkan itu bagaimana nasib orang orang disekitar sana ya. yang merasa dulu punya tanah yang dihargakan tidak sesui dengan harapan mereka. Yang tidak bisa melanjutkan kehidupan mereka. Tanahnya sudah terambil Dan sekarang mereka sangat sangat menderita itu mereka. Masih Miskin,” terang Prof Saeful Muslim.
Saeful Muslim menyerukan agar Gubernur dan pihak terkait lebih fokus menyejahterakan masyarakat lingkar bandara ketimbang membuat polemik baru yang membuat iklim investasi, iklim kehidupan sosial masyarakat bergejolak yang secara hitungan ekonomi juga tidak bermamfaat bagi masyarakat lingkar bandara.
Persoalan baru dari kegaduhan nama bandara ini semakin memperpuruk keadaan warga lingkar bandara yang saat ini sedang berusaha mengais rezeki karena tanahnya diambil untuk bandara.
” Supaya mereka [eks pemilik lahan bandara] bisa hidup layak. Bagaimana supaya dia bisa menikmati seperti orang lain. Mungkin salah siapa dulu, kita tidak usah pikirkan lagi, itu sudah berlalu. yang pasti mereka yang punya tanah dulu itu, mereka masih miskin. Sehingga sekarang mereka sekarang hanya penonton, melihat orang lalu lalang di depan matanya. Orang senang-senang,” tandasnya.
Lebih lanjut, Prof Muslim meminta agar semua pihak menyadari kondisi psikologis warga lingkar bandara dan masyarakat Lombok Tengah pada umumnya. Kondisi yang memanas saat ini tidak bisa dilawan dengan kekerasan atau pemaksaan.
Menurutnya penamaan ini hanya persoalan momentum yang kurang pas, bukan persoalan tidak menghargai pahlawan. Karena 50 tahun kedepan belum tentu ada pemberian nama pahlawan untuk bisa dijadikan nama bandara, kecuali ada perang lagi.
” Momentumnya kurang pas, jangan dipaksakan. kalau orang sudah senang, perutnya kenyang. Seiring waktu masyarakat bisa menerima perlahan lahan untuk diatur. Contohnya mereka menjajakan dagangan di pintu masuk gedung bandara. kalau digeser sedikit dulu ngamunk ya. Tapi lama kelamaan mereka paham. Ini untuk tamu orang datang keluar masuk, akhirnya mereka pindah,” terangnya.
Lebih lanjut, MUI menjelaskan saat ini tidak bisa menjadi jalan penengah karena sudah terlanjur. Mestinya sebelum semua ini berkonflik, semua pihak dipanggil. Namun kondisi saat ini, sudah punya prinsip masing masing yang sudah terbelah.
” Yang ngajak [untuk menolak] itu bukan pemerintah, yang ngajak bupati, tetapi masyarakat sendiri,” pungkasnya.
Untuk itu, Muslim meminta agar semua bisa menahan diri dan tidak tersulut emosi.Dampak dari kisruh bandara ini sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan dan pembangunan NTB. Salah satunya mengancam dunia pariwisata.
Jangan nama bandara saja diributkan, tapi kesejahteraan ex pemilik tanah dulu diperhatikan dan tlng diisi janji janji yg diucapkan dulu,ini yg ngomong saya ex pemilik tanah
Jangan nama bandara saja diributkan, tapi kesejahteraan ex pemilik tanah dulu diperhatikan dan tlng diisi janji janji yg diucapkan dulu,ini yg ngomong saya ex pemilik tanah