Ketua Divisi Hukum Pimpinan Pusat Pemuda NW Herman Saputra Sorenggana SH,MH membantah pernyataan Prof. Zainal Asikin di medsos yang menyatakan bahwa Surat Keputusan (SK) Kementerian Perhubungan (Kekeliruan penalaran hukum tentang perubahan nama BIL menjadi Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM) harus di Rekonstruksi kembali kerena batal demi hukum atau batal dengan sendirinya ”tanpa dibatalkan “.
Menurutnya pendapat Prof. Zainal Asikin ini sedikit keliru dalam penalaran hukum yaitu Kekeliruan penalaran hukum pertama pandangan Prof Asikin yang menyatakan SK 1421 batal demi hukum atau batal dengan sendirinya.Dalam hukum administrasi Negara tidak dikenal keputusan batal demi hukum atau batal dengan sendirinya. Suatu keputusan batal karena cabut oleh Badan/Pejabat pemerintahan yang menerbitkan keputusan tersebut atau melalui putusan pengadilan.
“Dari mana ajaran hukum yang menyatakan kalau suatu keputusan (beschikking) batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, sangat disayangkan Prof. Asikin menyusun argumentasi yang cacat logika (argumentum ad logicam) penalaran hukumnya tidak valid karena pengingkaran kaidah-kaidah hukum administrasi”,Ungkapnya (26/01/20)
Lebih lanjut dikatakan bahwa Kekeliruan penalaran hukum kedua pandangan Prof. Asikin yang membantah penerapan SK 1421 dengan ilmu dasar hukum atau ajaran Pengantar Ilmu Hukum yang menurutnya bahwa SK 1421 itu mengandung ”ius constituendum” atau masih menjadi cita cita belum menjadi ”ius constitutum” alias belum menjadi hukum positif yang berlaku.
“Basis teoritik argumentasi Prof. Asikin ini sangat keliru dan sangat tidak relepan dengan keberataan SK 1421, karena SK ini adalah beschikking yang merupakan keputusan tata usaha Negara yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan dan merupakan hukum positif dan harus diterapkan tentang perubahan nama BIL menjadi BIZAM”,Ujarnya.
Herman juga menegaskan bahwa Dalam doktrin hukum administrasi negara tidak dikenal keputusan (beschikking) yang di cita-citakan, keputusan itu hukum positif dan harus dilaksanakan bukan dicita-citakan karena karekter keputusan administrasi adalah sebagai aturan teknis yang sifatnya eksekusitable (harus dilaksanakan). Jadi SK Kemenhub RI No. 1421 adalah perintah hukum dan harus dilaksanakan, bukan dicita-citakan.
“Yang saya pahami dalam hukum administrasi Negara terkait dengan SK 1421 keputusan (beschikking)/KTUN adalah KTUN Deklaratif dan Konstitutif (Rechtsvastellend en Rechtsscheppend) bukan tentang ”ius constituendum” atau”ius constitutum” seperti yang di jelaskan Prof. Asikin”,Tegasnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa Kekeliruan penalaran hukum ketiga pendapat Prof. Asikin terdapat kesalahan cara tafsirnya tentang makna Diktum Kedua SK Kemenhub RI No. 1421 yang mengatur bahwa, “dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkan keputusan Menteri ini, seluruh akibat hukum administratif karena penetapan nama Bandar Udara sebagai mana sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama harus telah selesai dilakukan secara menyeluruh.
“Menurut Prof. Asikin kalau lampau waktu 6 bulan maka SK 1421 harus di Rekonstruksi kembali kerena telah batal demi hukum. Prof. Asikin tidak memahami addressaat norm pada dictum kedua SK 1421. Maksud dan makna dictum kedua SK 1421 adalah perintah untuk mulai melaksanakan secara efektif penamaan BIZAM setalah 6 bulan sejak terbitnya SK 1421.Jadi semua instrument pemerintahan atau bahkan Angkasa Pura harus melaksanakan perintah SK 1421 itu kerana dianggap persiapan pergantian nama BIZAM selama 6 bulan sudah selesai secara administrasi, bukan lantas SK 1421 hangus atau batal demi hukum dengan alasan pelaksanaan SK 1421 telah lampau waktu 6 bulan. Jadi SK 1421 tetap eksis berlaku dan harus dilaksanakan sebagai hukum positif bukan hukum yang dicita-citakan”,Katanya
Dirinya beranggapan bahwa aneh saja kok ada keputusan (beschikking) yang dicita-citakan, SK 1421 adalah hukum positif sebagai lex scripta (hukum tertulis) yang diterbitkan oleh badan/pejabat pemerintahan yang bersifat final dan mengikat. Dalam doktrin hukum administrasi negara dan juga dalam UU Administrasi Pemerintahan terdapat benyak jenis keputusan (beschikking/KTUN) yang bisa digunakan menjelaskan SK 1421, tidak perlu menggunakan ajaran pengantar ilmu hukum seperti ius constituendum” atau ”ius constitutum” untuk menjelaskan kekuatan mengikatnya SK 4121.
Di akhir bantahannya Herman mencontohkan Misalnya: pertama KTUN seketika/singkat (Einmaligh Beschikking) adalah jenis keputusan yang masa berlakunya hanya sekali pakai, seperti surat ijin pertunjukan hiburan, music, olahraga dll dan SK 1421 bukanlan jenis Einmaligh Beschikking karena SK 1421 berlaku seterusnya atau selamanya sebelum dibatalkan. Kedua adalah jenis KTUN bersyarat adalah keputusan yang mensyaratkan hal-hal tertentu sehingga KTUN menjadi final dan mengingat dan dictum kedua SK 1421 perihal temporis 6 bulan sebagai perintah Menteri Perhubungan kepada pengelola bandara untuk penyelesaian kelengkapan administrasi BIZAM bukan sebagai syarat sebagai ketentuan lampau waktu (daluarsa) pelaksanaan SK 1421, sehingga kesimpulannya SK 1421 adalah final dan mengikat untuk dilaksanakan.Ketiga adalah jenis KTUN permanen (Voortduren) keputusan yang masa berlakunya untuk selama-lamanya, kecuali ada perubahan atau peraturan baru atau dibatalkan dan SK 1421 adalah KTUN final dan mengikat untuk dilaksanakan tidak lagi dibutuhkan rekomednasi untuk daapt dilaksanakan.
“SK 1421 sebagai keputusan (beschikking) atau KTUN dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Perhubungan harus segara dilaksanakan oleh pengelola bendara yakni Angkasa Pura dan juga Gubernur NTB sebagai wakil pemerintah pusat harus memfasilitasi pelaksanaan SK 1421 bukan malah kembali meminta rekomendasi DPR NTB, ini namanya Gubernur kurang paham hukum dan terlihat mengulur-ulur pelaksanaan perubahan nama Bandara menjadi BIZAM”,Pungkasnya.