Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj melontarkan kritik keras pada pemerintah Indonesia yang tak kunjung berhasil memperpendek jarak ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Pasalnya, hingga periode kedua pemerintahan presiden Jokowi saat ini, jarak ketimpangan perekonomian Indonesia antara yang kaya dan yang miskin masih jauh.
Menurutnya, saat ini, penguasaan kekayaan di Indonesia hanya dimiliki segelintir orang saja. Sementara itu, kelompok miskin di Indonesia yang sebagian merupakan warga NU berada dalam kondisi tidak berdaya.
“Kita semua tahu Solikin, Jumadi, Zulkifli, Madrais hanya jadi penonton, gigit jari,” katanya pada pidato Peringatah Hari Lahir Ke-94 NU di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (31/1).
Nama-nama yang diungkapkan Kiai Said merupakan nama umum bagi warga NU yang menjadi korban dari ketimpangan ekonomi yang makin lebar.
Dalam kesempatan ini, Kiai Said juga menganggap, pemerintah cenderung membiarkan kelompok miskin untuk bersaing dengan kelompok kaya atas nama ‘pasar bebas’, sehingga warga miskin NU semakin tidak berdaya. Kiai said juga menkritik perlakuan berbeda oleh perbankan terhadap kelompok kaya dan miskin.
“Pengusaha kecil dan menengah belum tentu diterima untuk mengajukan pinjaman uang ke pihak bank. Tapi, kalau konglomerat malahan banknya yang menawarkan,” kata Kiai Said.
Belum lagi, persoalan korupsi yang kerap terjadi dalam skala besar seperti yang tengah terjadi di perusahaan asuransi Jiwasraya. Hal itu, kata Kiai Said menunjukkan betapa buruknya pengelolaan perekonomian di Indonesia. Jika kondisi ketimpangan ekonomi dibiarkan tanpa perbaikan yang ‘radikal’, maka bisa jadi masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
“NU berharap fenomena ini jangan sampai menimbulkan distrust di kalangan masyarakat,” katanya
Meski demikian, menurut Kiai Said, pada dasarnya, NU tidak anti terhadap konglomerat. Justru NU mendukung konglomerat yang berpihak kepada masyarakat kecil, atau konglomerat yang berupaya mengkatrol pengusaha kecil menjadi menengah, yang menengah menjadi besar.
Dalam kesempatan ini, Kiai Said juga mengkritik pemerintah atas sejumlah kenaikan barang yang dibebankan pada masyarakat seperti kenaikan iuran BPJS dan harga elpiji. Kiai Said juga melontarkan ketidak setujuan pada kebijakan impor garam. Kritik terhadap ketimpangan ekonomi yang dikatakan Kiai Said sejalan dengan statemen peneliti oligarki di Indonesia, Jeffrey Winters yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia dikuasai oleh sekelompok oligark.
Dalam sebuah kesempatan presentasi, untuk menggambarkan ketimpangan penguasaan kekayaan di Indonesia, ia menyebut bahwa kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 40 persen penduduk termiskin Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tren ketimpangan ekonomi Indonesia makin tinggi sejak krisis Asia pada 1998 dan Krisis Global pada 2008. Walaupun trennya sedikit menurun sejak 2015, namun Indeks Gini Ratio pada tahun 2018 masih menunjuk angka 0,39. Dalam sebuah kesempatan, peneliti senior Smeru, Asep Suryahadi memprediksi, angka ketimpangan itu akan tetap tinggi tanpa program perbaikan ekonomi yang menyeluruh.[NUOnline]