Kewajiban rapid test bagi orang yang hendak bepergian merupakan bagian dari strategi pencegahan dan pemutusan mata rantai Covid-19. Walaupun, rapid test sebenarnya tidak eksplisit menunjukkan seseorang terinfeksi corona, sebatas memperlihatkan anti body saja.
Begitu tegas anggota Ombudsman RI Alvin Lie mengawali penjelasannya mengenai potensi kewajiban rapid test jadi ladang bisnis. Dia mempertanyakan adanya kewajiban rapid test untuk perjalanan pesawat atau naik kereta. Terlebih test itu bisa dilakukan sekali saja untuk bepergian dalam tempo tertentu.
“Artinya, sebetulnya persyaratan rapid test ini hanya basa basi administratif saja,” tegas Alvin Lie kepada redaksi, Kamis (2/7).
Dia menguraikan bahwa pemerintah saat ini sedang berupaya menghidupkan kembali perekonomian dan wisata. Sejurus itu, kebutuhan publik untuk rapid test semakin tinggi, sehingga tujuan dari rapid test yang semula untuk pencegahan hanya dipandang sebatas persyaratan administratif.
Terlepas dari itu, Alvin Lie juga mencermati harga rapid test. Mulanya berkisar dari Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu. Kini pihak Angkasa Pura menyediakan tes di bandara dengan biaya Rp 250 ribu hingga 290 ribu. Harga semakin bervariasi saat sejumlah maskapai turut menyediakan jasa tes tersebut. Garuda seharga Ro 225 ribu, Lion Air Rp 95 ribu.
“Lion Air Rp 95 ribu itu pun dia sudah tidak rugi, jadi sebetulnya biaya rapid test itu kan modalnya kan nggak sampai Rp 95 ribu, ya paling sekitar 60 ribu lah,” tegasnya.
Berdasarkan amatan itu, Alvin Lie khawatir rapid test hanya akan menyasar di mana tempat-tempat yang ada uangnya saja. Bukan untuk tujuan awal, yaitu mencari daerah-daerah zona merah yang hanya mengandalkan uluran pemerintah untuk melakukan test.
“Jadi ketersediaan rapid test ini jelas sudah berorientasi bisnis bukan berorientasi pada pencegahan dan penghentian penyebaran Covid-19,” demikian Alvin Lie. [ Rmol.id ]