Kejaksaan Negeri Praya melimpahkan proses audit penggunaan anggaran refocusing dari sejumlah dinas di Lombok Tengah untuk penanganan covid 19 ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP.
Langkah ini menurut Kejari sebagai bentuk keseriusan pihaknya untuk mengawal penggunaan anggaran Covid 19 yang banyak disoroti publik.
” Untuk membangun transparansi, biar nggak banyak banyak nanyak orang secara detail ke BPKP, kita suruh Kadis itu ke BPKP,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Ely Rachmawati.
Hal ini juga menurut Ely sudah disampaikan kepada Pansus Covid 19 DPRD Lombok Tengah saat berkunjung ke kantor Kejaksaan Negeri Praya baru baru ini. Dimana dalam kunjungan itu, pihaknya menjelaskan secara detail langkah langkah Kejari Praya dalam mengawal penanganan covid 19 di Loteng.
” Kita diskusi masalah anggaran Covid 19, Refocusing itu bagaimana, pola kejaksaan dalam pendampingannya bagaimana, termasuk menanyakan tentang hibah [dalam rangka penanganan covid 19], termasuk soal masker kita jelaskan secara detail ke dewan,” katanya.
Sejauh ini kata ELy, pihaknya sudah berupaya semaksimal mungkin mengawal penggunaan anggaran covid 19 yang mencapai Rp.148 Milliar, mulai dari penandatanganan nota yang berisi kesiapan untuk berkoordinasi dengan Pemda Loteng, hingga terjun langsung ke lapangan.
” Kalau kita sudah cegah, kita warning, kita nasehati, kita sarankan, begini lo aturannya, tapi ada yang enggak mau ikut, kemudian penyimpangannya benar benar signifikan, kita serahkan ke Pidsus,” tandasnya.
Sebelumnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri berjanji lembaganya akan memberikan hukuman tegas bagi pihak-pihak yang melakukan korupsi di tengah suasana bencana pandemi corona COVID-19. Tak tanggung-tanggung, Firli mengancamnya dengan pidana mati.
“Maka bagi yang melakukan korupsi dalam suasana bencana tidak ada pilihan lain, kami menegakkan hukum yaitu tuntutan ya pidana mati,” Kata Firli dilansir Tirto (29/4/2020).
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Firli bukanlah sesuatu yang baru. Ancaman hukuman pidana mati telah tercantum di dalam UU Tindak Pidana Korupsi, khususnya di pasal 2.
Pasal 2 ayat 1 menyebut : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.”
Sedangkan pasal 2 ayat 2 tertulis : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Lebih lanjut dalam penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2), diterangkan bahwa “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.