Beranda Editorial Editorial Khusus: Baikkah Berlebihan Disisi NON MUSLIM ?. Catatan Dari Abituren NW

Editorial Khusus: Baikkah Berlebihan Disisi NON MUSLIM ?. Catatan Dari Abituren NW

Menurut cara pandang saya yang sederhana ini, sikap semacam itu sesungguhnya bukan penghinaan terhadap Sang Cahaya dari timur atau masyhur sebagai Sang Pahlawan Maulana Syekh Zaenuddin Abdul Majid.

0
BERBAGI
Taufik Gondrong atau M Taufik Ramdani Abituren NW NTB.
Editorial Khusus Koranmerah.com
Oleh : Taufik Gondrong / Abituren NW Sakra Timur.

DEKADE ini sudah kita lihat betapa yang berlebihan itu tak hasilnya. Sumber segala ketidak seimbangan.

Jika kita analogikan dalam POLITIK ORMAS, maka secara nasional apa yang dilakukan FPI dalam menegakkan dakwah bil hal itu terkadang melampaui batas kewajaran.

Tak jarang kita lihat Habib mencecar orang lain dalam kuliah dakwahnya. Di zaman Gusdur cara itu berhasil tumbangkan Gusdur. Artinya cara itu cukup ampuh menggulingkan presiden yang punya cara pandang syari’ah dan tahu batasan syar’inya.

Kalau presiden sekelas Gusdur bisa terjungkilkan dengan cara itu; apalagi hanya seorang gubernur sekelas Ahok yang tak punya pandangan syar’i apapun.

Karenanya, tak mungkin mengharapkan ahok beradab ketika ia tak pernah baca adabul adab.

Tapi jurus yang sama apakah mempan di zaman penguasa dengan pemahaman syar’i yang minim namun berpengalaman dalam memenagement kekuasaan? Mari kita tilik sedikit mendalam.

Era digital 4.0 telah mrlahirkan pemimpin nasional baru. Kemunculan pemimpin baru nasional ini muncul dari kalangan nasionalis. Banyak yg berpikir akan mudah ditumbangkan dengan jurus khilafiyah syari’ah yang digoreng di atas wajan nasionalisme dan keberagaman keyakinan. Issue dengan daya jangkau yg teramat luas sekaligus menyandang issue tersensitif di segala masa.

Dengan jurus ini, kembali HRS dimanfaatkan oleh kelompok lama lainnya yang sesungguhnya berseteru dalam bab bagi-bagi kue demokrasi.

Sebagai pukulan awal dari jurus ini telah melahirkan gelombang 212. Gelombang ini menghempas dan menggegerkan. Mengaburkan DAYA PANDANG peletakan negara sebagai wilayat MADANI.

Ya… demokrasi ala madani; dimana orang kafir dan muslim hidup bersama dengan saling hormat menghormati.

Berbagai khilafiyah masalah syari’ah secara sengaja di benturkan dengan konsep ketatanegaraan. Seolah olah tata negara yg syah menjadi tidak syah. Seolah olah ideologi demokrasi ala madani menjadi tidak madaniyah.

Kelompok PERTAHANA menyangkal dan mempertahankan diri. Kekuasaan mulai digunakan secara tidak wajar. Korban mulai berjatuhan. Ketidak adilan mulai terkuak. Keadilan mulai tertindas.

BEGINILAH KALAU GOLOLANGAN OPOSISI DAN GOLONGAN PENGUASA SUDAH SAMA SAMA BERLEBIHAN.

Di NTB 12 tahun lalu, saat era TGB berkuasa, beliau saat itu teramat muda belia. Belum matang memahami hitamnya lingkaran setan kekuasaan. Kaum birokrat yg cukup jeli memasuki ruang kosong yg tersedia sebagai kelompok baru penguasa. Banyak kaum birokrat yg pencari muka mengatas namakan ormas beliau. Kekuasaan dibagi konstribusinya secara tidak adil. Akhirnya banyak administrasi yg dilanggar dan itulah yg kemudian jadi dasar utama kandasnya Al Fajr NTB ini bersinar di kancah nasional.

Medistribusikan kekuasaan secara berlebihan kepada ormas tertentu membuat ormas lainnya yg besar dan juga ada di NTB harus mengelus dada mereka tanpa mampu berbuat apa. Menyolot sedikit saja tentang masalah ini langsung akan dicecar oleh buzer pendukung atau oleh golongan tertentu yg mencari makan atau mendapatkan hasil dari kekuasaan ini.

Tanpa disadari, manamgement pemanfaatan ruang kekuasaan yg tak berimbang ini melahirkan banyak sekali kaum intelek (klaim diri mereka) yg bertingkah kaleng kalengan. Mereka masih berusaha memanfaatkan sisa kekuasaan itu sebagaimana cara2 sebelumnya tanpa rasa malu hingga saat ini.

Jika perlu, golongan selain mereka akan difitnah habis menggunakan segala daya usaha dari sisa kekuasaan yang ada. Semoga orang-orang semacam ini segera dibersihkan dari lingkar kekuasaan yang tersisa sehingga potensi sengketa semacam ini segera terhentikan. Sebagai sosok gubernur baru, Dr.Zulkifliemansyah seharusnya tidak ada dalam kelompok kelompok yang bertikai. RTGB sebagai Ketua PB NW yang baru dan syah menurut UU semestinya tak melanjutkan management pengelolaan yang timpang oleh generasi sebelum beliau. Tidak masuk ke wilayat konflik yang kontraproduktif. Itulah harapan saya sebagai abituren NW.

Jika menilik dari gencarnya penolakan terhadap perubahan nama bandara, menurut hemat saya adalah reaksi atas pemanfaatan kekuasaan selama 12 tahun terakhir sebelumnya. Suka tidak suka secara objektif; ketidak adilan dalam management penganggaran ini telah berkonstribusi besar dalam kasus PENOLAKAN.

Menurut cara pandang saya yang sederhana ini, sikap semacam itu sesungguhnya bukan penghinaan terhadap Sang Cahaya dari timur atau masyhur sebagai Sang Pahlawan Maulana Syekh Zaenuddin Abdul Majid.

Menurut hemat saya yang bodoh ini, beliau tetaplah penyandang gelar termulia sebagai Sang Guru. Di hormati seantero Negeri Samudra ini.

Tak ada seorangpun di Lombok Berani menghina beliau karena muslim Lombok meyakini beliau sebagai Sang Wali.

Ketika penolakan perubahan di gerakkan oleh seseorang yang pribadinya masih kontra produktif, selalu gagal. Arus kekuasaan yang lebih besar menyasar golongan kontra dan berakhir hening.

Hening bukan berarti salah satu dari kelompok bersiteru ini menang, tapi hening karena kedua kelompok masih bersitegang. Seperti api dalam sekam. Siap membara, cukup dengan sepercik api saja.

Tapi ketika yang mulai angkat bicara adalah Sang Sepuh yang bagi masyarakat NAHDIYIN dilebel sebagai Kyai langitan/ Wali Badal/ Rais Mursyid Thareqhat ; kelompok penentang perubahan nama bandara berada diatas angin. Kepatutan dan kepantasan Sang Sepuh tak mampu ditandingi sebagai pemutus pertikaian.

Tidak hanya karena pandangan ini rasional namun memberikan rasa keadilan bagi kelompok lainnya yang selama 12 tahun tak terwakili keberadaannya secara baik. Jika terwakili, itu semata mata karena usaha pribadi pribadi dengan kaitan kekuatan nasional yang dimiliki kelompok Nahdiyin sebagai Ormas Berskala Nasional dan tertua di bangsa ini.

Pendek kata, BERLEBIHAN itu tak baik

Apakah keyakinan ini hanya di klaim sebagai cara pandang kaum muslim saja?

Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (QS al-Maidah [5]: 77)

Beginilah hasil dari segala sesuatu yg digunakan/dimanfaatkan/ dilakukan secara berlebihan.

Mari kita tilik pandangan non muslim terhadap masalah yang sejalan dengan bahasan kita yaitu KEBERLEBIHAN itu.

Wu Ji Bi Fan. Sebuah filsafat cina yang mempunyai makna “Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.” Di negeri cina, wu ji bi fan diaplikasikan dalam konsep keseimbangan yang disebut dengan Yin-Yang. Suatu kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan namun mereka saling membangun satu sama lainnya. Sedangkan lambang tradisional dari kekuatan Yin-Yang disebut dengan “Taiji.”

Keseimbangan sangat diperlukan. Kita bekerja, perlu diseimbangkan dengan istirahat jika tidak ingin jatuh sakit. Ketika berbicara, seimbangkan dengan mendengar, jika tidak ingin disebut tukang ngoceh atau egois. Terlalu banyak protes juga kurang baik, karena bisa lupa akan kewajiban.

Lalu mengenai filsafat wu ji bi fan. Benar juga jika sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Misalkan berlebihan minum, perut kembung, berlebihan makan, jadi malas, berlebihan barang susah pergi, berlebihan hand phone ribet sendiri.

Lalu bagaimana jika berlebihan uang? Ya..seimbangkan dengan beramallah sedikit!

Seperti dalam film Jackie Chan yang berjudul “The Karate Kid” dia mengucapkan kata-kata ini dalam mengajarkan karate! Belajar berlebihan itu juga tidak baik! Ada saatnya kita beristirahat sejenak.

Apapun itu, Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Menjadi golongan yang seimbang dalam mengerjakan agama -dengan ilmu tentu saja- jauh lebih menenteramkan jiwa. Kita akan menjadi manusia yang terus bertumbuh karena semangat tak datang sekaligus lantas menghilang. Semangat mengikuti ritme jiwa yang kadang naik dan kadang turun.

Semangat yang berlebihan juga akan menjadikan standar kita dalam beragama menjadi kacau. Kita akhirnya melihat sekitar dengan pandangan sinis. Orang-orang dinilai tak mengamalkan ajaran agama dengan benar. Bibit-bibit konflik sosial pun bisa muncul dari sikap ini. Para ulama menyebutnya ghuluw.

Kita dilarang keras bersikap berlebihan utamanya dalam beragama. Berlebihan dalam perkara dunia bisa jadi efeknya akan langsung terasa. Begitu juga berlebihan dalam beragama. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Maidah [5]: 87)

Semoga kita dijauhkan dari sikap berlebihan dalam beragama. Ghirah dalam menyambut seruan Allah SWT dan Rasul-Nya bukan berarti menjatuhkan kita pada sikap ghuluw. Kuncinya adalah ilmu dan benar dalam beragama. Wallahua’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here