Mantan Panglima TNI Jenderal Purn. Gatot Nurmantyo mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia meminta ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) diubah dari 20 persen menjadi nol persen.
Gatot menilai Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan pasal 6 ayat (2), 6A ayat (2), dan 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Menyatakan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata Gatot petitum gugatan dengan nomor 63/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021 sebagaimana dikutip dari laman MK, Selasa (14/12/2021).
Gatot mengajukan permohonan sesuai pasal 1 angka 34 UU Nomor 17 tahun 2017 selaku warga negara Indonesia yang layak sebagai pemilih.
Gatot mengutip putusan MK yang diajukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli terkait pasal yang sama. Ia menyebut presidential threshold menimbulkan jual beli kandidat calon presiden. Ia merujuk pengalaman Rizal Ramli yang ditawari partai politik menjadi calon presiden dengan harga Rp1 triliun pada 2009.
Gatot juga mengutip pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri bahwa presidential threshold perlu dihapus. Refly juga mengutip pernyataan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Hamdan Zoelva, anggota DPR Fadli Zon, Wakil Ketua MPR Syarief Hasan, akademisi hukum UGM Zainal Arifin, akademisi hukum Universitas Andalas Fery Amsari, pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro dan KedaiKOPI Hendri Satrio, serta pengamat pemilu Titi Anggraeni tentang hal yang sama.
Selain Gatot, gugatan ambang batas pencalonan presiden lewat uji materi UU Pemilu ke MK juga diajukan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono dan Anggota DPD Bustami Zainudin. Ketiga pemohon itu sama-sama menunjuk Refly Harun sebagai kuasa hukumnya. [tirto]