Sidang lanjutan kasus dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menjerat Aktivis NTb, M. Fihirudin dilanjutkan di Pengadilan Negeri Mataram hari ini, Rabu 13 Juli 2023. Agenda sidang kali ini adalah pembacaan pledoi atau pembelaan dari pihak terdakwa.
Dalam pledoi tersebut, pengacara M. Fihirudin, Endri Susanto, SH MH, meminta agar kliennya dibebaskan dari semua dakwaan dan mengembalikan nama baik, harkat, dan martabatnya. Selain itu, mereka juga meminta agar biaya perkara ditanggung oleh Negara.
Endri Susanto, dalam pledoi tersebut, menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan pasal-pasal yang menjadi dakwaan terhadap M. Fihirudin. Menurutnya, terdapat unsur-unsur yang tidak terpenuhi dalam fakta-fakta persidangan yang telah disampaikan. Salah satu contohnya adalah Jaksa tidak bisa membuktikan niat pelaku dalam menciptakan muatan kebencian terhadap SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
“Pasal-Pasal yang menjadi tuntutan kepada M.Fihirudin tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam fakta-fakta persidangan diantaranya soal niat pelaku dalam membuat adanya muatan kebencian terhadap SARA itu tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum” jelas Endry
Selain itu, Endri Susanto juga menolak kesaksian ahli pidana yang diajukan oleh pihak Penuntut Umum. Ahli tersebut menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukanlah lembaga SARA, melainkan sebuah institusi negara. Menurut Endri, jika unsur tersebut tidak terpenuhi secara kumulatif, maka tuntutan terhadap M. Fihirudin tidak dapat dianggap terbukti.
M. Salahudin, SH MH, yang juga merupakan anggota tim penasehat M. Fihirudin, menyatakan bahwa fakta-fakta persidangan sejak awal tidak dapat membuktikan adanya permusuhan atau kebencian antara individu atau kelompok masyarakat seperti yang dituduhkan dalam tuntutan.
Ia mengatakan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan terjadinya kebencian atau kerusuhan di masyarakat. Dalam fakta persidangan, tidak ditemukan ukuran yang jelas terkait hal tersebut, sehingga menjadi tidak pasti dan ambigu. Menurut M. Salahudin, jika hal ini tidak dapat dibuktikan, maka kliennya harus dibebaskan.
“Tidak ada barometer yang membuktikan terciptanya kebencian atau kerusuhan yang terjadi di masyarkat. Dalam fakta persidangan tidak ditemukan ukuran terhadap hal tersebut sehingga ngambang dan ambigu, hal ini jika tidak bisa dibuktikan maka klien kami harus dibebaskan” Jelas Ikhwan
Selanjutnya, M. Fihirudin diberikan kesempatan oleh Majelis Hakim untuk menyampaikan pledoi secara individu. Ia memberi judul pledoinya “Bertanya di Penjara”. Dalam pledoi tersebut, M. Fihirudin menegaskan bahwa kasus ini merupakan bentuk arogansi DPRD NTB yang mengkriminalisasi rakyatnya. Ia hadir di pengadilan ini karena percaya bahwa rakyat biasa mampu melawan kekuasaan yang mengkriminalisasi mereka.
M. Fihirudin menyatakan bahwa perilaku para wakil rakyat merupakan preseden buruk bagi demokrasi dan bahkan mengingatkan pada masa orde baru yang otoriter. Ia menekankan bahwa sebagai seorang rakyat biasa, ia akan melawan kekuasaan tersebut, karena jika bukan mereka, siapa lagi yang akan mengontrol kebijakan pemerintah.
Ia juga mengkhawatirkan bahwa jika semua aktivis dikriminalisasi, direndahkan, atau ditangkap, maka Indonesia akan kembali ke masa orde baru yang otoriter dan koruptif, yang merusak cita-cita luhur reformasi.
M. Fihirudin berharap bahwa kriminalisasi terhadap aktivis hanya menimpa dirinya sendiri dan tidak meluas ke aktivis lainnya. Sidang hari ini berakhir, dan sidang selanjutnya akan dilanjutkan pada tanggal 26 Juli mendatang dengan agenda pembacaan putusan.
Sampai saat ini, pengadilan belum mengeluarkan putusan terkait kasus ini, dan hakim akan mempertimbangkan semua argumen dan fakta yang telah disampaikan dalam sidang sebelum membuat keputusan.