Hoaks berisi klaim dukungan politik tokoh agama ke pasangan calon kepala daerah kerap muncul pada setiap kontestasi politik. Begitu pun pada Pilkada Serentak 2024 ini. Pemantauan hoaks Pemilu oleh Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) sepanjang Semester I 2024 menemukan bahwa isu dukungan politik adalah yang paling banyak muncul.
Ada lima isu utama hoaks Pemilu yang dominan yakni narasi dukungan politik, diikuti isu kecurangan Pemilu, hoaks yang memuat karakter atau gaya hidup kandidat, klaim kemenangan, dan penolakan terhadap kandidat tertentu.
Pada Pilkada NTB 2024, hoaks berisi dukungan politik tokoh masyarakat ke kandidat juga ditemukan pada Oktober 2024 atau sebelum masa pemungutan suara 27 November. Salah satu modus hoaks yakni dengan mencatut tokoh agama atau organisasi keagamaan, lantas menyebarkan klaim dukungan politik ke calon tertentu.
Tim redaksi menemukan beberapa contoh hoaks Pemilu yang menggunakan isu dukungan politik.
Contoh 1
Sebuah unggahan berisi dukungan politik ke kandidat tertentu kembali mencuat selama Pilkada 2024. Konten tersebut memuat foto yang dimanipulasi dan dibubuhi narasi yang mengaitkan dukungan politik tokoh agama.
Salah satu kasus yang mencuri perhatian adalah editan foto TGB Muhammad Zaenul Majdi yang sebenarnya berpose salam dua jari, lalu diedit menjadi satu jari. Sehingga seolah-olah potret tersebut menunjukkan dukungan ke pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB Siti Rohmi Djalilah dan HW.Musyafirin.
Setelah dilakukan cek fakta oleh Hai Lotim.com, ternyata Ketua Umum Ormas Keagamaan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) itu mengacungkan salam dua jari saat bersama Calon Gubernur NTB Zulkieflimansyah ketika menonton MotoGP di Sirkuit Mandalika.
Selain itu pada Pilkada 2024, beredar narasi berisi klaim bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah yang didukung Jokowi. Informasi tersebut diunggah salah satu akun Facebook, pada 26 November 2024 atau mendekati masa pencoblosan.
Klaim MUI mengimbau masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah yang didukung Jokowi berupa video yang menampilkan seseorang sedang berbicara. Berikut transkripnya:
“Geger dan gempar juga ini ada imbauan dari MUI tentu disampaikan oleh ketua umumnya langsung Bapak Haji siapa ya?. Nanti lagi kita lihat ya, tapi yang pasti ketua MUI ini menyarankan mengimbau umat Islam untuk tidak pilih pemimpin yang mendukung dinasti politik, tidak boleh pemimpin pendukung politik dinasti ini tersirat ya karena kalau tersurat kan disebutkan namanya.”
Namun, hasil penelurusan tim Cek Fakta Liputan6.com menemukan ternyata informasi itu tidak akurat. Dalam pencarian, tidak satupun artikel di media massa memuat informasi yang sama dengan klaim tersebut.
Kenali Modus Hoaks Berisi Dukungan Politik
-Mencatut tokoh agama atau organisasi keagamaan
-Menggunakan foto atau video lama yang dimanipulasi, diedit, atau digunakan di luar konteks peristiwa
-Memuat narasi atau kalimat yang provokatif, sulit diverifikasi
-Mengaburkan sumber atau tidak menyertakan sumber yang jelas
-Kecenderungannya, kalimat memiliki kesalahan ejaan atau menggunakan karakter yang tidak biasa
Agar Tak Terjebak Hoaks Dukungan Politik
Cek sumber informasi
1.Gunakan perangkat atau tools untuk mendeteksi keaslian 2.dan asal-usul sumber foto ataupun video (reverse image, 3.analisis dengan petunjuk visual, penanda gambar/watermark)
4.Hindari langsung membagikan foto
5.Diskusikan dan bandingkan informasi dengan berita di media kredibel
6.Laporkan konten hoaks
Fenomena ini memerlukan kewaspadaan tinggi, terutama dari masyarakat yang rentan termakan hoaks.Dr. Muhammad Ali, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Mataram, mengingatkan pentingnya literasi digital dalam menghadapi fenomena manipulasi seperti ini.
“Kita harus memahami bahwa di era digital, foto dan informasi sangat mudah dimanipulasi. Narasi palsu yang menghubungkan tokoh agama dengan politik berpotensi memecah belah masyarakat,” ujar Dr. Ali, Jumat.
Manipulasi foto memiliki daya pengaruh yang kuat karena gambar cenderung dianggap sebagai bukti konkret. Dalam kasus TGB yang juga merupakan mantan Gubernur NTB dua periode itu, perubahan pada salam tangan menimbulkan interpretasi baru yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini menunjukkan betapa berbahayanya penyebaran informasi tanpa konfirmasi.
Dr. Ali menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat untuk lebih skeptis terhadap informasi yang beredar di media sosial.
“Pilkada adalah momentum penting yang seharusnya menjadi ajang demokrasi yang sehat, bukan ajang manipulasi. Semua pihak perlu proaktif dalam mencegah penyebaran hoaks,” tambahnya.
Sebagai langkah waspada, atau upaya mencegah penyebaran hoaks sebelum menyebar luas, Dr. Ali memberikan beberapa tips untuk masyarakat.
Pertama, selalu cek sumber informasi. Pastikan informasi berasal dari media kredibel atau pernyataan langsung dari tokoh yang bersangkutan.
Kedua, gunakan aplikasi pendeteksi manipulasi foto. Ada beberapa aplikasi dan situs web yang dapat digunakan untuk memverifikasi keaslian sebuah gambar. Teknologi ini membantu mengidentifikasi apakah foto telah diedit atau dimanipulasi.
Ketiga, jangan langsung membagikan informasi yang belum terverifikasi. Sebarkan pesan untuk menahan diri sebelum memastikan kebenaran suatu informasi.
“Sikap skeptis sangat penting untuk mencegah kita menjadi bagian dari rantai penyebaran hoaks,” jelas Dosen Ilmu Politik ini.
Keempat, tingkatkan literasi digital melalui pelatihan atau diskusi komunitas. Pemerintah daerah dan lembaga masyarakat sipil dapat mengambil peran aktif dalam memberikan edukasi ini.
Kelima, laporkan konten hoaks ke platform media sosial atau otoritas terkait. Dengan melaporkan, penyebaran hoaks dapat dihentikan lebih cepat.
Pria asal Mataram ini juga menyarankan agar tokoh publik lebih berhati-hati membagikan informasi di ruang digital.
“Setiap tokoh harus sadar bahwa apa yang mereka unggah dapat digunakan oleh pihak lain untuk kepentingan tertentu. Penting bagi mereka untuk memiliki tim yang mengelola reputasi digital,” ujarnya.
Sementara itu, Muksin Arif, tokoh penyiar dari NTB, menambahkan bahwa praktik semacam ini sering digunakan untuk mengelabui pemilih dan menciptakan persepsi tertentu.
“Banyak masyarakat yang percaya tanpa verifikasi lebih lanjut. Ini menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat,” ujarnya.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu memahami bahwa tidak semua narasi yang beredar di media sosial dapat dipercaya.
“Kita harus menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Jangan sampai kita mudah terprovokasi oleh informasi yang belum tentu benar,” pungkas pria yang sudah bersiaran sejak era 80-an ini.