Walhi NTB menyorot penanganan gempa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTB dan kabupaten yang terdampak. Menurut Direktur Walhi NTB, Murdani, Pemerintah di daerah harus bertanggung jawab karena sampai saat ini masih banyak warga yang masih belum tersentuh bantuan seperti yang dijanjikan sebelumnya.
“ Per 1 Maret 2019, kan sebenarnya sudah diambil alih komando penanganan gempa dari pusat ke daerah. Artinya juga sejak itu, kewenangan itu beralih . Hanya saja koordinasi di tingkat daerah ini yang sangat buruk. Berdampak juga terhadap pengabaian terhadap kondisi korban gempa,” Kata Murdani, [19/8].
Selain itu, Murdani sangat menyayangkan kerja dari pemerintah daerah terhadap pendataan yang selama ini menjadi kendala diberikannya bantuan tersebut. Akibatnya dana Milliaran harus kembali ke Pusat karena persoalan tersebut belum tuntas. Mestinya soal pendataan ini bisa diselesaikan segera mengingat kebutuhan masyarakat sangat mendesak untuk diberikan bantuan. Masyarakat terdampak gempa tidak puas dengan kinerja pemerintah.
“ Per 25 Agustus itu kan sudah berakhir masa tanggap darurat itu kan sudah berakhir, namun hasilnya tidak sampai 20 persen. Artinya dana yang sudah digelontorkan ke daerah harus kembali ke pusat dulu, meskipun nanti harus balik ke daerah kan butuh proses panjang lagi,” terang Murdani.
Akibat hal ini, banyak rumah di Lombok Utara misalnya yang sampai saat ini belum terbangun. Hal ini membuat miris mengingat sebelumnya gembar gembor bantuan akan secepatnya diberikan kepada warga.
“ Di KLU saja, yang rusak berat 74 ribu rumah, yang baru direnovasi itu, belum sampai 20 persen. Kalau dibiarkan itu, butuh berapa tahun kan. Sementara kan musim kemarau. Warga tinggal di lapangan, di hunian sementara, berhadapan juga dengan masalah air dan kekeringan. Dua bulan lagi masuk musim hujan, mereka belum punya rumah, kan 2 tahun berturut-turut, mereka akan kena hujan dan penyakit,” terangnya.
Belum lagi persoalan aplikator yang nakal yang memainkan harga saat pelaksanaan. Sehingga bantuan yang seharusnya cukup untuk membangun satu rumah, malah tidak cukup.
“ Penyimpangan yang terjadi di tingkat bawah adalah mark up harga barang yang tidak masuk akal. Tapi pemerintah seakan menutup mata. Harga material misalnya, harga batu bata contohnya, dari biasanya Rp.500 ribu bisa menjadi Rp.1 Juta,” jelas pria asal Menemeng ini.
Menurut Walhi, yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memperpendek birokrasi dan tidak bertele-tele agar yang rumah yang belum terbangun ini segera dicairkan dananya. Selain itu, Walhi meminta agar pemerintah memperketat pengawasan di tingkat pelaksanaan.