Pimpinan Pusat Muhammadiyah menegaskan bahwa Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak terlalu urgen untuk dilakukan pembahasan oleh DPR RI.
Keputusan diambil setelah Muhammadiyah melakukan kajian dengan seksama mengenai materi RUU HIP. yang saat ini sedang dalam pembahasan di Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR). Berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim PP Muhammadiyah, materi RUU HIP dinilai banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah UU, terutama UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi UU,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Muti saat jumpa pers di Kantornya, Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (15/6).
Abdul Muti mengurai, secara hukum, kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara dinilai sudah sangat kuat. Terutama, terkait landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS XX/1966 juncto TAP MPR V/1973, TAP MPR IX/1978, dan TAP MPR III/2000 beserta beberapa UU turunannya sudah sangat memadai. Dalam pasal 5 (e) UU 12/2011 dan penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan: Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Karena itu, meniadakan atau tidak mencantumkan TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP juga termasuk masalah serius, padahal dalam TAP MPRS tersebut pada poin (a) tentang menimbang secara jelas dinyatakan “Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila”.
Rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Di dalam UU 12/2011 disebutkan bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum (pasal 2) dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 3 ayat 1).
“Pancasila dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang karena berpotensi menyimpang dari maksud dan pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara,” urai Abdul Muti.
Demikian halnya, memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945, serta mengundang kontroversi dengan mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1955 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan.
“Kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan dimasukkan dengan alasan historis, maka 7 kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama,” kata Abdul Muti.
Selain itu, di dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III (Pasal 5, 6, dan 7). Terdapat banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila yang lainnya, termasuk yang mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila Ketuhanan Yang Maha Esa
“Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh,” tuturnya. “Hal tersebut juga bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan sebagaimana diatur dalam pasal 5 (c) UU 12/2011 yang di dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan,” demikian Abdul Muti.[ Rmol.id ]