Dalam populasi yang hanya mencakup sekitar 6,2 persen dari total penduduk global, Masyarakat Adat telah membuktikan kemampuannya dalam menjaga dan mengelola lebih dari 80 persen biodiversitas bumi. Fakta ini memperlihatkan betapa krusialnya peran Masyarakat Adat, terutama pemuda adat, dalam menjaga keberlanjutan alam di sekitar mereka.
Sayangnya, mereka menghadapi berbagai tantangan yang mengancam eksistensinya, terutama akibat pembangunan yang merusak dan perkembangan teknologi komunikasi yang merambah hampir semua aspek kehidupan.
Peran pemuda adat di komunitas saat ini mengalami tantangan yang signifikan. Selain kerusakan wilayah adat akibat industri ekstraktif, mereka juga dihadapkan pada permasalahan pendidikan dan dampak teknologi modern. Pusat-pusat pendidikan tinggi umumnya berlokasi di perkotaan, yang mengakibatkan generasi muda di komunitas terpaksa harus berpindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan. Banyak dari mereka kemudian memilih untuk menetap di kota untuk mencari pekerjaan, mengakibatkan kekosongan generasi muda di komunitas adat.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah persepsi bahwa pekerjaan yang dianggap prestisius hanya dapat ditemukan di kota, khususnya pekerjaan di depan komputer atau di kantor perkotaan. Hal ini membuat beberapa pemuda adat enggan kembali ke kampung halaman, takut dianggap gagal dalam memenuhi tuntutan hidup modern.
Mina Setra, Deputi IV Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Urusan Sosial Budaya, mengungkapkan, “Banyaknya pemuda adat yang merantau ke kota menyebabkan ‘kekosongan’ di komunitas, yang tinggal hanya para tetua, perempuan, dan anak-anak. Wilayah adat menjadi lebih rentan terhadap intervensi luar karena pemuda adat, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi kampung, tidak berada di tempat.”
Sementara teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat, memberikan akses ke berbagai jenis informasi di mana saja, namun juga berpotensi memberikan pengaruh negatif pada generasi muda. Namun, teknologi juga dapat menjadi peluang bagi pemuda adat untuk mengembangkan diri dan kreativitas melalui berbagai platform yang tersedia.
Dalam menghadapi tantangan ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui Gerakan Pulang Kampung mencoba untuk membalik tren perpindahan pemuda adat ke kota. Gerakan ini mendorong pemuda adat yang berada di perkotaan untuk kembali ke kampung halaman, menjaga dan mengelola wilayah adatnya. Dalam beberapa kasus, gerakan ini telah menginspirasi pemuda adat untuk membangun sekolah adat, mengembangkan usaha wisata budaya, pertanian organik, dan kebun herbal di komunitas mereka.
Staf Khusus Presiden RI Bidang Pendidikan, Inovasi, dan Daerah Terluar, Billy Mambrasar, mengapresiasi Gerakan Pulang Kampung yang dilakukan oleh AMAN dan BPAN.
Dia melihatnya sebagai respons positif terhadap tren perpindahan pemuda ke luar kampung dan menyatakan, “Gerakan Pulang Kampung ini mendorong tren kembalinya anak-anak ke kampung halaman, salah satunya seperti di Luwu Utara dan membangun daerahnya agar meningkat dengan pesat.”
Di tengah tantangan eksternal dan pengaruh teknologi modern, pemuda adat dan Sekolah Adat yang didirikan oleh mereka muncul sebagai bentuk perlawanan untuk menjaga budaya, pengetahuan, dan lingkungan mereka. Melalui upaya ini, pemuda adat merangkul peran penting mereka dalam menjaga masa depan Masyarakat Adat dan lingkungan alam yang mereka cintai.