Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) telah secara resmi melaporkan sejumlah tokoh, termasuk keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto, atas dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Proses pelaporan ini berlangsung selama lebih dari satu jam di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Senin (23/10).
Koordinator TPDI, Erick S Paat, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melaporkan sejumlah individu kepada KPK atas dugaan kolusi dan nepotisme.
“Yang diduga dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan Ketua MK Anwar, juga Gibran, dan Kaesang, dan lain-lain,” kata Erick kepada wartawan.
Dalam dokumen laporan yang diserahkan kepada KPK, terdapat 17 nama yang dilaporkan. Mereka meliputi Presiden Jokowi, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Bacawapres Gibran Rakabuming Raka yang juga merupakan putra Jokowi, Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep yang juga merupakan putra Jokowi. Selanjutnya, Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Pratikno, Ketum Partai Gerindra dan bacapres Prabowo Subianto, prinsipal pemohon perkara uji materiil nomor 90/PUU-XXI/2023 Almas Tsaqibbirru Re A, dan kuasa hukumnya Arif Suhadi.
Selain itu, delapan Hakim Konstitusi juga dilaporkan. Mereka adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, M Guntur Hamzah, Manahan M Sitompul, Daniel Yusmic P Foekh, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, serta panitera pengganti I Made Gede Widya Tanaya K.
Erick menjelaskan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam laporan ini meliputi beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah, termasuk Ayat 1 dan 3 UUD 1945, TAP MPR XI/MPR/1998, TAP MPR VIII/2001, UU 28/1999, UU 31/1999, UU 19/2019, UU 18/2003, Peraturan Pemerintah nomor 43, dan Peraturan Pemerintah 68/1999.
Laporan ini terkait dengan putusan MK terhadap permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu, di mana MK memberikan peluang bagi Gibran untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden.
Erick kemudian merincikan dugaan kolusi dan nepotisme yang diungkapkan dalam laporan ini. Ia menyoroti hubungan keluarga antara Presiden Jokowi dan Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan ipar. Anwar juga memiliki hubungan kekeluargaan dengan Gibran dan Kaesang, yakni paman dan keponakan.
Erick menegaskan bahwa menurut hukum kehakiman, jika terdapat hubungan kekeluargaan, ketua majelis hakim harus mengundurkan diri. Namun, ia mempertanyakan mengapa Ketua MK membiarkan dirinya tetap menjabat sebagai Ketua Majelis Hakim dalam kasus ini.
“Sebagai Ketua MK, masa tidak tahu UU daripada kekuasaan kehakiman. Harusnya dengan tegas dari awal, ‘saya tidak berhak, karena berbenturan kepentingan’. Nyatanya kan tidak, diam-diam saja. Lebih-lebih lagi di sini Presiden Jokowi juga tidak menyatakan meminta supaya ketua MK yaitu Ketua Majelis Hakim itu pak Anwar mundur, karena berbenturan kepentingan,” jelas Erick.
Erick juga menyatakan bahwa Presiden Jokowi, yang juga menjadi pihak yang terlibat dalam persidangan, seharusnya meminta Anwar Usman untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Majelis Hakim mengingat konflik kepentingan yang ada.
Selain itu, anggota MK yang juga anggota Majelis Hakim seharusnya menyuarakan agar Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatan Ketua Majelis Hakim jika terdapat hubungan kekeluargaan.
Dalam laporan ini, Erick melampirkan sejumlah bukti, termasuk fotokopi putusan MK, risalah rapat permusyawaratan hakim konstitusi, laporan utama majalah Tempo, serta rekaman video di YouTube.
Erick berharap agar KPK merespons laporan ini dengan cepat, mengingat kepentingan publik dan potensi dampak yang signifikan jika permasalahan ini tidak ditangani secara tuntas.