Di balik pesona Gili Trawangan yang memikat wisatawan global, pulau ini menghadapi masalah serius terkait pengelolaan lahan yang belum terselesaikan selama bertahun-tahun.
Sengkarut ini menjadi hambatan utama dalam pengoptimalan aset di kawasan yang terletak di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (KLU, NTB).
Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan memberikan pendampingan kepada pemerintah daerah guna menyelesaikan masalah status lahan di Gili Trawangan.
Setelah melakukan pendampingan lapangan pada Pemda KLU di Gili Air dan Gili Trawangan, Minggu (18/8), Kepala Satgas Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria, menjelaskan bahwa sengketa pengelolaan lahan ini terjadi antara Pemprov NTB, yang memiliki hak pengelolaan atas 75 hektare tanah di Gili Trawangan, dan sejumlah oknum masyarakat yang merasa berhak atas lahan tersebut serta menyewakannya tanpa izin dari Pemprov NTB.
“Kalau tidak bisa akur dan main salah-salahan, kalian (oknum masyarakat) salah. Karena menyewakan tanah negara,” tegas Dian.
Berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2018, masyarakat hanya diberi izin sewa pemanfaatan lahan melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS), dengan kewajiban membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) sebesar Rp25.000/m²/tahun atau Rp2,5 juta per are per tahun. Nilai sewa ini adalah harga terendah yang dikenakan pada masyarakat yang belum memiliki usaha.
Kepala UPT Gili Tramena, Mawardi, mengungkapkan bahwa baru sekitar 100 dari 700 Wajib Pajak (WP) yang telah menandatangani PKS dengan Pemprov, dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang masuk sebesar Rp1,6 miliar hingga Juli 2024. Target PAD dari kawasan ini diharapkan mencapai Rp5 miliar pada tahun ini.
Oknum Meraup Untung Besar
Dalam giat lapangan ini, Pemda bersama KPK memasang plang di salah satu restoran di Gili Trawangan. Plang tersebut menjelaskan bahwa lahan seluas 750.000 m² di bawah Sertifikat HPL No. 1 Tahun 1993 adalah milik Pemprov NTB dan belum memiliki izin.
Namun, ada oknum masyarakat yang malah menyewakan tanah Pemprov kepada pelaku usaha dengan tarif tinggi, meraup keuntungan miliaran rupiah setiap tahun. Sementara itu, Pemprov NTB, sebagai pemilik sah lahan, tidak mendapatkan retribusi yang seharusnya menjadi PAD.
Kepala Dinas Pariwisata NTB, Jamaluddin Malady, menjelaskan bahwa perputaran ekonomi di Gili Trawangan bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap harinya. Bahkan, pelaku usaha berani menyewa lahan di jalan utama dengan harga Rp300 juta per tahun.
Masalah ini tidak hanya merugikan pemerintah daerah, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang menghalangi investasi dan pengembangan wilayah. Padahal, tanah seluas 75 hektare tersebut telah bersertifikat HPL dan tercatat sebagai Barang Milik Daerah (BMD), yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.
“Kami mendengar bahwa keuntungan dari pemanfaatan lahan ini mencapai miliaran rupiah, dan oknum masyarakat bahkan menyebutkan nilai sewa yang mencapai triliunan rupiah sejak tahun 1990-an, tetapi hanya sedikit yang masuk ke kas Pemprov NTB,” lanjut Dian.
Dalam mediasi dengan pihak terkait, beberapa oknum masyarakat bahkan meminta bantuan terkait dokumen Sertifikat Hak Milik (SHM), yang sebenarnya tidak layak mereka miliki.
Selama ini, pemerintah memberikan izin Hak Guna Bangunan (HGB) dengan masa berlaku hingga 30 tahun untuk menempati lahan milik pemerintah di Gili Trawangan. Namun, penerbitan HGB saat ini masih terhambat karena status lahan yang berada dalam kawasan konservasi hutan.
KPK juga mendorong Pemerintah Provinsi NTB untuk segera menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Gili Trawangan serta Gili Meno dan Gili Air. Dian menegaskan bahwa penyelesaian RTRW ini merupakan kunci untuk membuka jalan bagi langkah-langkah lanjutan yang akan melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jika RTRW tidak segera diselesaikan, penarikan retribusi dan pengelolaan PAD akan terus terganggu.
Kepala Bidang Pengelolaan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) KLU, Andita Novita Sari, yang ikut serta dalam giat lapangan di Gili, mengakui bahwa pendampingan KPK sangat membantu dalam penertiban pajak.
“Dengan adanya pendampingan KPK, kami sangat bersyukur. Plang yang menunjukkan dukungan KPK membuat WP lebih taat pada kewajiban mereka,” katanya.
Andita menambahkan bahwa pada bulan puasa lalu, ada 15 WP yang menunggak pajak dengan total Rp8,5 miliar, namun Rp4,6 miliar sudah terealisasi. Sisa tunggakan Rp3,9 miliar diharapkan selesai hingga Desember tahun ini, seiring dengan pernyataan beberapa WP untuk melunasi pajak mereka.