KH Ma’ruf Amin menyatakan diri mundur dari jabatan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Hal ini disampaikannya kepada para petinggi PBNU dan hadirin rapat pleno organisasi tersebut, Sabtu (22/9).
Pernyataan sosok calon wakil presiden RI itu kemudian diterima jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di rapat yang telah kuorum itu. “Terhitung mulai hari ini, karena baru tadi malam ditetapkan resmi sebagai calon wakil presiden, saya menyatakan mengundurkan diri sebagai rais aam (PBNU),” kata Kiai Ma’ruf di kantor pusat PBNU, Jakarta Pusat, Sabtu (22/9) siang.
Sikap itu diambil kiai tersebut lantaran anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) PBNU memang mewajibkan demikian, yakni seorang rais aam agar meletakkan jabatannya bila berpolitik praktis. “Meskipun demikian, perlu saya sampaikan, bahwa di manapun dan sampai kapan pun, saya adalah terus kader Nahdlatul Ulama,” tegas Kiai Ma’ruf yang disambut gemuruh tepuk tangan hadirin.
Sebelumnya, KH Ma’ruf mengaku telah berkonsultasi dengan sejumlah ulama besar, yang kemudian menyarankannya agar menerima pencalonannya sebagai cawapres RI. Menurut cicit Syekh Nawawi al-Bantani ini, pilihannya untuk menerima ‘pinangan’ capres pejawat Joko Widodo dilandasi beberapa pertimbangan.
Di antaranya, dia ingin agar manhaj Nahdlatul Ulama dapat dibawa ke ranah yang lebih luas, yakni konteks berbangsa dan bernegara. Karena itu, kiai tersebut beranggapan, dirinya telah hijrah dari jalur perjuangan kultural ke struktural demi kemaslahatan yang lebih luas.
“Artinya, saya melakukan hijrah dari aktivitas saya di jalur kultural melalui NU, bahkan juga Majelis Ulama, karena akan memasuki jalur struktural kalau terpilih (sebagai wakil presiden RI),” jelasnya.
Dia memaparkan, selama menjadi rais aam PBNU, telah mengupayakan kemajuan organisasi ini. Misalnya, dengan memantapkan pemahaman dan pengalaman ahlus sunnah wa al-jama’ah di seluruh kepengurusan PBNU serta lembaga-lembaga otonom di bawahnya.
Kiai Ma’ruf mengaku dirinya ingin terus berkiprah sebagai rais aam PBNU, semata-mata demi menunaikan amanah hasil muktamar di Jombang, Jawa Timur, pada 2015 lalu. Dia menjelaskan, fokusnya selama ini sebagai rais aam antara lain menegakkan dan menjaga manhajul fikri dan manhajul harakah di lingkugan NU.
Akan tetapi, lanjutnya, Allah SWT ternyata menakdirkan hal lain, yakni dirinya dihadapkan pada panggilan bangsa dan negara. “Sebagaimana dimaklum, beberapa bulan terakhir, saya dihadapkan pada situasi amat sulit, yang saya harus pilih salah satunya. Tugas sebagai rais aam (PBNU) merupakan amanah yang amat mulia bagi semua kader NU, tak terkecuali saya. Namun, di sisi lain, ada situasi yang saya sebagai kader NU tak bisa menghindar, bangsa dan negara memanggil saya untuk memberikan pengabdian terbaik dengan dicalonkan sebagai calon wakil presiden,” paparnya.
Oleh karena itu, Kiai Ma’ruf meminta seluruh warga Nahdliyin agar mendoakan kebaikan dan mendukungnya dalam Pilpres 2019 mendatang. “Mudah-mudahan saya terpilih. Karena itu, saya mohon doa, mohon restu, sekaligus mohon pamit dan mohon dukungan. Semoga apa yang menjadi cita-cita kita semua dikabulkan Allah SWT,” demikian kiai tersebut menutup pidatonya.
Turut hadir dalam rapat pleno ini, antara lain, ketua umum PBNU KH Said Aqil Siradj, Sekjen PBNU Helmy Faisal Zaini, dan Katib Aam KH Yahya Staquf. Adapun pengganti posisi rais aam yang kini ditinggalkan Kiai Ma’ruf adalah KH Miftahul Akhyar, yang sebelumnya menjabat wakil rais aam PBNU.