Politik uang atau money politic sudah tidak asing lagi di dengar, bahkan sebagian dari kita pernah mengalami (subjek dan objek) atau melihat langsung praktik politik uang itu terjadi, baik pada pemilihan kepala daerah maupun pemilu pemilihan Presiden dan wakil presiden serta pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Akan tetapi, itu hilang begitu saja, seolah–olah hal tersebut sudah biasa terjadi di tengah pesta demokrasi, ibaratnya seperti orang buang angin (maaf orang kentut) bunyi dan baunya ada, akan tetapi tidak berwujud, hilang begitu saja di bawah angin. Karena sebagian dari kita atau hampir semuanya tidak mau repot dengan hal itu, ada yang cuek – cuek saja, ada yang takut jadi saksi lalu dibiarkan saja (hanya katanya – katanya ada praktik politik uang).
Pura – pura tidak tahu, ada dugaan sebagian masyarakat pemilih menerima politik uang juga, karena kalau dilaporkan akan disibukkan dengan bukti-bukti yang lain dan klarifikasi (diminta keterangan) oleh pengawas pemilu, polisi dan jaksa atau bisa saja dugaan praktik politik uang sama- sama dilakukan oleh parpol peserta pemilu, pura – pura tidak tahu, karena diduga sama – sama melakukannya. Karena praktik politik uang sulit dibuktikan, harus ada bukti autentik adanya praktik politik uang tersebut, ada saksi atau pihak – pihak yang melihat langsung kejadian tersebut.
Kemudian bukti uang yang dibagikan, amplop gambar (foto) parpol peserta pemilu maupun calon-calon legislatip, DPD atau yang lainya, bukti – bukti yang mendukung lainnya seperti foto, video, alat – alat lainnya yang mendukung pada saat melakukan praktik politik uang (syarat formil dan materiil harus lengkap). Tanpa itu, semua tentunya Bawaslu akan kesulitan untuk menjerat pelaku politik uang, kiranya parpol peserta pemilu dan masyarakat pemilih mengerti hal itu jangan hanya katanya – katanya praktik politik uang terjadi, saksi – saksi dan bukti- bukti harus ada dan kuat. Tanpa itu semua laporan tentunya akan sia – sia.
Tetapi Penulis berpandangan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota jangan hanya diam dan pasif saja, kalau ada laporan tanpa saksi atau saksinya belum jelas serta buktinya belum lengkap, anggap ini sebagai informasi awal, jangan terburu – terburu menganggap laporan itu tidak lengkap syarat formil dan materiil, harus didalami, jangan berhenti sampai disitu saja.
karena sudah menjadi tugas Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota untuk melakukan investigasi dugaan pelanggaran pemilu termasuk dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu. Bawaslu sebagai garda terdepan dalam hal pencegahan dan penindakan pelenggaran pemilu jangan bermain di wilayah aman saja, jangan terbesit didalam hati bahwa sudahlah kita menunggu laporan saja dari masyarakat dan parpol peserta pemilu.
Mereka tidak boleh bersifat pasif, tidak perlu repot – repot, kalau tidak memenuhi syarat formil dan materil laporan tersebut gugur saja, tidak diinvestigasi dan didalami dan tidak bisa dijadikan temuan pengawas pemilu. Hal ini, kita dorong supaya pengawas pemilu harus bekerja professional dan ekstra time, ini resiko dari sebuah tugas. Disinilah tantangan sebagai pengawas pemilu, kalau berhasil dalam menggungkap praktik politik uang dan sampai ke pengadilan serta ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
Suatu keberhasilan yang luar biasa bagi pengawas pemilu karena bisa menggungkapkan praktik politik uang, apalagi melakukan investigasi yang saksi dan buktinya belum lengkap. Tentu dalam hal ini Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dibantu dan didampingi oleh pihak kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Gakkumdu (penegakan hukum terpadu).
Bukan berarti banyaknya pelanggaran yang bisa diproses dan dibawa ke pengadilan dan sudah ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap dianggap sudah sukses sebagai pengawas pemilu. Bukan itu tolak ukurnya, kesuksesan itu terjadi bila mana upaya – upaya pencegahan bisa berjalan optimal, sehingga dugaan pelenggaran pemilu terutama tindak pidana pemilu bisa diminimalisir.
Terkait definisi politik uang dalam UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu, tidak ada definisinya secara eksplisit ditulis. Politik uang masuk dalam bagian bab larangan dalam kampanye pasal 280 huruf (J). Banyak pihak menafsirkan politik uang berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 Pasal 69 ayat (1) huruf j dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 280 (1) huruf (J). Yang berbunyi ayat (1) Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.
Kemudian Sanksi atas pelanggaran larangan kampanye UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu pasal 284.
Yang dimaksud dengan menjanjikan atau memberikan adalah inisiatifnya berasal dari pelaksana dan tim kampanye Pemilu yang menjanjikan dan memberikan untuk mempengaruhi Pemilih. Di sinilah penafsiran money politik muncul yaitu adanya kegiatan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya untuk mempengaruhi pemilih.
Didalam aturannya, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, aturan tentang politik uang ada 3 tahapan yaitu yang pertama pada masa kampanye, disini hanya pelaksana, peserta, dan atau tim kampanye yang memenuhi unsur dan secara ekplisit disebutkan dalam pasal 280 dan ketentuan pidananya pasal 523 ayat (1).
Ada celah pada masa kampanye terkait politik uang yang mana pada praktik dilapangan, modusnya atau biasanya menggunakan tanggan orang lain untuk melakukan dugaan praktik politik uang, bukan pelaksana dan tim kampanye yang beraksi melakukan dugaan praktik uang, karena mereka sudah terdaftar di KPU, KPU, KIP Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan takut dijerat karena aturannya sudah jelas. Dalam tahapan ini siapa saja bisa berkampanye.
Yang kedua pada masa tenang, masa ini sama dengan masa kampanye subjeknya pelaksana dan tim kampanye pasal 523 ayat (2). Yang ketiga pada hari pemungutan suara, unsurnya semua orang bisa dijerat dengan pasal 515 dan pasal 523 ayat (3). Pada tahapan ini (hari H nya yaitu pemungutan dan perhitungan suara) setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya untuk mempengaruhi pemilih bisa dijerat, kalau syarat formil dan materiilnya lengkap.
Kemudian pasal 286 ayat (3) terkait pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Memang aturannya belum ada terkait pelanggaran TSM untuk pemilu 2019. Kalau untuk pilkada sudah ada yaitu perbawaslu Nomor 13 tahun 2017 Tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Terkait Larangan Memberikan dan atau menjanjikan uang atau materi lainya yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif dalam pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Ada potensi dugaan pelanggaran ini terjadi namun dalam pembuktiannya sulit karena syaratnya harus terpenuhi semua unsurnya yaitu TSM. Tidak bisa hanya terstruktur tapi juga harus sistematik dan massif bersifat kumulatif. Aturan – aturan tersebut dapat menjadi celah bagi para politisi untuk melakukan politik uang pada masa kampanye dan masa tenang, karena pada masa kampaye dan masa tenang tidak semua orang bisa dijerat dalam praktik politik uang.
Karena tidak ada disebutkan secara ekplisit di pasal ketentuan pidana pemilu 2019 tidak ada unsure subjeknya, hanya pelaksana, peserta dan atau tim kampanye yang bisa dijerat karena unsur subjeknya ada disebutkan.
Kemudian di Undang – Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pilkada pemberian sanksi praktik politik uang dapat diberikan kepada pemberi dan penerima sedangkan menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, hanya pemberi yang dapat diberikan sanksi bila melakukan praktik politik uang. Ini problem regulasi UU Pemilu, banyak celah dan tidak progesif untuk menjerat pelaku politik uang. Begitu juga kategori pelanggaran yang terjadi terstruktur, sistematis dan masif (TSM) harus di evaluasi.
Sebab, aturan – aturan tersebut sangat dimungkinkan dimanfatkan oleh parpol peserta pemilu dan dapat menjadi celah bagi para politisi untuk melakukan politik uang.